Judul : Holy Mother
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerjemah : Andry Setiawan
Tebal : 280 Hlm.
Penerbit : Penerbit Haru
Harga : Rp. 89.000
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerjemah : Andry Setiawan
Tebal : 280 Hlm.
Penerbit : Penerbit Haru
Harga : Rp. 89.000
Holy Mother menjadi novel keempat yang saya baca dari
Akiyoshi Rikako—setelah The Dead Returns, Girls in the Dark & Absolute
Justice. Ekspektasi saya cukup tinggi ketika mulai membaca novel satu ini,
berhubung reviewnya bagus-bagus. Jadi saya pikir; twist apakah yang disiapkan
oleh Akiyoshi-sensei?
Sebelumnya, Review ini tidak spoiler free—jadi untuk yang belum baca, bisa tinggalkan postingan ini dan selesaikan dulu novelnya. Baru kembali lagi. oke?
Saya membaca novel ini hanya dalam waktu 2 hari—di kantor,
terpotong dengan berbagai pekerjaan di sana-sini. Berhubung akhir-akhir ini
kerjaan saya sedang senggang, dan sungguh saya sudah sulit meluangkan waktu
sesuai bekerja. Biasa, mager. Bawaannya pengen langsung tidur.
Gaya penulisan di Holy Mother dan sudut pandang yang di
gunakan cukup membuat saya untuk berpikir keras. Alurnya maju-mundur, dengan
time frame yang berubah-ubah. Jadi terkadang saya bingung dan sempat terhenti
di beberapa halaman karena kelelahan.
Sinopsisnya sendiri sebenarnya menarik—sebuah kalimat
terakhir di cover belakang “apa yang akan dia lakukan untuk melindungi putri
tunggalnya itu?” sudah sangat cukup untuk meningkatkan rasa ingin tahu saya.
Tapi rupanya…. Saya cukup kecewa dengan endingnya. Hahah
Sebelum saya melanjutkan reviewnya, saya simpulkan kalian
sudah paham jalan cerita dan konflik utama di novel ini, ya. Jadi saya enggak
usah ngetik sinopsisnya lagi. hehe
Di halaman pertama, kita langsung di suguhkan dengan sosok
Honami; seorang ibu berusia empat puluh tahunan yang memiliki seorang anak
perempuan yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak; mungkin. Sejauh saya
membaca, saya sudah bisa menerka bahwa Honami ini over-analyzing dan kadar
kecemasannya luar biasa. Isi pikirannya terkadang mengganggu dan membuat saya
lelah sendiri. Ah tapi mungkin memang sengaja di gambarkan seperti itu;
berhubung background story Honami cukup kuat—dia susah punya anak. Jadi punya
anak tentu menjadi sebuah mukzijat untuknya.
Selanjutnya, kita di paksa untuk mengenal sosok Tanaka
Makoto. Sosok Makoto di gambarkan sebagai anak SMA yang cukup misterius namun
memiliki imej yang baik. Saya awalnya sempat bersimpati—mungkin karakternya
tampan dan menawan. Mirip tokoh anime lah. Imaji saya Mulai buyar ketika akhirnya
Akiyoshi-sensei membuka langsung kejahatan Makoto; dialah pelaku pembunuhan
dari Yukio-chan. Uh. Saya bertanya-tanya; ngapain Makoto bunuh anak kecil? Ekspektasi
saya semakin meninggi. Saya yakin Akiyoshi-sensei punya kejutan.
Sosok lain yang perlu kita hafal namanya adalah Sakaguchi
dan Tanizaki. Dua sosok detektif yang bertugas untuk menyelidiki kasus
pembunuhan anak di kota Aiide. Mereka tidak terlalu istimewa. Biasa saja. Kecurigaan
mereka dan analisisnya serasa tidak uh…. Cukup buat saya. Seakan-akan ya memang
mereka udah tau aja harus ngapain. Meski memang sosok detektif harus selalu
curigaan—terkadang percakapan Tanizaki dan Sakaguchi terasa tidak berguna. Ngomongin
masalah gender-equal, misal. Enggak butuh, deh. Mending ngomongin kasusnya
secara lebih dalam dan luas.
Beberapa bagian yang seharusnya bisa membuat saya berdecak
kagum adalah flashback demi flashback Honami saat menjalani perawatan
kemandulan. Saya akui Akiyoshi-sensei benar-benar melakukan riset yang luar
biasa terhadap perawatan kemandulan karena saya yakin akurasinya bisa di
pertanggung jawabkan. Tapi—buat saya infonya terlalu banyak. Cukup dengan
menekankan bahwa Honami tidak mendapat dukungan emosional yang cukup, perawatan
kemandulan itu sakit, dan akhirnya setelah sekian lama baru punya anak—cukup untuk
menjelaskan karakter Honami yang cemas luar biasa. Oevrprotektif dan
overthinking. Jadinya saya malah skip beberapa bagian yang bahas perawatan
kemandulan. Maafkan saya, Akiyoshi-sensei.
Menjelang akhir cerita—imaji saya di bunuh habis-habisan
oleh Akiyoshi-sensei. Jadi…. Makoto itu cewek. Ini enggak masuk akal rasanya. Atau
saya aja yang emang melewatkan beberapa bagian sampai enggak sadar Makoto itu
cewek? Saat awal di kenalkan pada sosok Makoto, saya ingat betul scene Makoto
di tembak oleh Siswa sekolah lain. Saya ingat bahwa yang nembak Makoto ini
cewek. Saya yakin. Soalnya Makoto bilang “Ah, karena inilah cewek itu
merepotkan.”—jikalau Makoto digambarkan sebagai sosok yang imut dan cantik
mirip Audrey Hepburn, mana ada yang keliru sama gendernya. Enggak mungkin. Sungguh.
Ini enggak masuk akal. Saya… enggak terima. Jika kalian memiliki penjelasan
kuat soal Makoto yang memang dari awal sudah terasa seperti cewek, demi apapun
silahkan beritahu saya. Saya dengan senang hati akan mendengarkan.
Selain yang saya sebutkan di atas, Holy Mother ini banyak
plot holenya. Menurut saya, loh ya.
Honami digambarkan selalu dekat dengan Kaoru. Baiklah, mari
kita simpulkan bahwa Akiyoshi-sensei sengaja mengecoh kita untuk berpikir bahwa
Kaoru memang putri Honami. Tapi itu berarti tiap Honami ingat anak gadisnya—yang
dikepala Honami itu Makoto, bukan Kaoru.
Twist dimana Kaoru adalah anak Makoto dan Makoto adalah anak
Honami—lalu mereka saling melindungi darah dagingnya terasa terlalu di
paksakan. Ya padahal memang itu twistnya. Alasan Makoto membunuh Yukio dan
Satoshi menurut saya tidak cukup kuat. Rasa trauma memang pasti membekas, tapi
tetap saja—penjelasan alasannya terlalu pendek. Saya malah enggak simpati sama
sekali dengan sosok Makoto.
Pun dengan ibundanya, Honami.
Honami disini secara tidak langsung menjadi partner Makoto
dalam melancarkan aksinya. Tapi ya enggak jelas. Contoh, Yukio di laporkan
mendapat kekerasan secara seksual—alias di perkosa; tapi kok enggak di jelasin
kalau itu memang Honami yang melakukan? Caranya gimana? Dia ngapain? Kenapa harus
dengan meninggalkan jejak seolah Yukio di perkosa? Alasannya apa?
Please bilang kalau saya emang kelewatan baca aja karena
enggak teliti.
Lalu, saat pembunuhan Satosi. Kita simpulkan kalau Honami
sudah tahu kalau Makoto pembunuh Satoshi. Ini lagi-lagi saya yang kelewatan apa
emang gak dijelasin kenapa Honami memotong kesepuluh jari Satoshi? Apakah ada
hints? Gimana caranya dia tau mayat Satoshi di mana? Honami membuntuti Makoto?
Kok enggak di ceritain?
Padahal menurut saya kalau di ceritakan, bond antar Honami
dan Makoto bisa jauh lebih terasa. Kesan bahwa “Ibu akan melakukan apapun untuk
anaknya” jauh lebih bisa saya dapatkan rasa emosionalnya. Karena kalau begini,
jujur, saya bahkan enggak bisa merasakan bonding yang kuat antara Honami dan
Makoto.
Belum sikap Honami yang ‘kok-beda-banget’ pas lagi sendiri
sama pas sama orang lain. Honami saya cap sebagai sosok yang selalu khawatir di
manapun. Kapanpun. Jadi pasti bakal lebih observant sama sekeliling. Tapi pas
konsultasi karir kok mendadak ramah amat? Gaya bahasanya juga berbeda. Udah kaya
orang lain aja.
Saya mulai terdengar sangat julid.
Satu-satunya twist yang saya suka di sini adalah—Tateshina Hideki
di bunuh oleh Honami, lalu di jadikan tersangka kasus pembunuhan berantai. Ini miris;
kasian Kaoru—ibunya yang bunuh orang, tapi bapaknya meninggal di cekik. Dibunuh
sama neneknya pula.
Jadi di banding twist bahwa si a anak si b dan si b anak si
c, saya lebih suka twist yang di atas. Gomennasai huhu
Over all, saya menikmati membaca Holy Mother. Tapi setelah
selesai, enggak meninggalkan kesan gimana-gimana. Biasa aja. Berbeda ketika saya baca Girls in the dark yang bikin saya langsung misuh-misuh karena bagus
banget—holy mother bikin misuh-misuh karena banyak yang enggak dijelasinnya. Mungkin
buat penggemar Akiyoshi Rikako, Holy Mother bakal tetep disukain. Saya juga,
sih. Tapi jika melihat secara objektif, mungkin enggak. Saya enggak akan
masukin Holy Mother sebagai bacaan favorit.
Rate : 3/5


0 comments:
Post a Comment